Ana

Senin, 02 Juli 2012

Disleksia Bukan Penghalang Kesuksesan



 Disleksia adalah gangguan membaca yang spesifik pada seseorang dengan pengelihatan dan kemampuan akademis yang memadai (Kalat, 2009). Gangguan ini terjadi karena kondisi otak yang tidak bisa mengenali dan memproseskan simbol-simbol tertentu. Orang-orang yang menderita disleksia mempunyai kesulitan dalam membaca suatu kata dan menganggap kata-kata tersebut berbentuk lain dari bentuk normal.
Gejala dari penyakit disleksia adalah mengalami kesulitan dalam mengartikan suatu kalimat sederhana, kesulitan dalam membaca kata-kata tertulis, dan kesulitan dalam menyajakkannya. Aspek abnormal dari penderita disleksia ini adalah otaknya, bukan gangguan pengelihatan ataupun rendahnya intelijensi. Bahkan, banyak orang dengan penderita disleksia mempunyai kecerdasan di atas rata-rata intelijensi normal. Berikut ini merupakan cerita dan penjelasan dari beberapa figur tentang bagaimana mereka menikmati hidup mereka dengan penyakit disleksia .

Christian Boer
Ia adalah seorang desainer grafis yang menderita disleksia sejak ia lahir. Karena penyakitnya yang tidak mampu membaca kata-kata, ia padukan penyakitnya dengan seni bersama-sama membuat suatu proyek yang kemudian bernama Dyslexie pada tahun 2008 saat ia masih berokupasi sebagai pelajar. Dengan adanya proyek ini, dilakukanlah penelitian di University of Twente di Belanda pada pasien-pasien disleksia (disebutnya dyslexics). Riset ini menjelaskan bahwa dyslexics menunjukkan adanya perkembangan yang progresif dengan membaca bacaan yang dituliskan dalam Dyslexie. Dyslexie merupakan bentuk tulisan khusus didesain untuk penderita disleksia agar dapat membaca lebih baik dan mengurangi kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam membaca. Karena Boer merupakan seorang disleksia , ia menyadari sendiri apa yang disleksia butuhkan untuk melakukan perkembangan dalam membaca kalimat-kalimat sederhana ataupun kompleks. Boer memang berniat untuk membantu pasien disleksia lainnya untuk membantu mereka dalam membaca dan melancarkannya dengan font khusus.

Peter Lovatt, Ph.D

Lovatt adalah seorang psikolog juga sekaligus pedansa handal. Ia menyukai dansa sejak kecil, di mana ketika ia kecil, ia mengikuti les balet dan ia satu-satunya anak laki-laki pada kelas tersebut. Sembari hobi yang dilakukannya, Lovatt juga menderita disleksia dan semakin buruk ketika menginjak umur 20. Ketika ia menyerah untuk berdansa, ia memutuskan untuk berkuliah jurusan psikologi dan bahasa inggris, mengingat ketika kecil juga mengalami remedial di kelas bahasa inggris karena menderita disleksia itu sendiri. Lovatt kemudian mendapatkan beasiswa S2 jurusan Neural Computation diUniversity of Stirling dan menyelesaikan disertasinya di Essex University. Tahun 1998, ia menyelesaikan penelitian untuk mendapatkan gelar Ph.D-nya tentang Short-term Memory and Dyslexia. Kemudian ia dikukuhkan menjadi profesor di Hertfordshire University pada September 2004, dan mendirikan Psychological Dance Lab. pada tahun 2008. Lovatt merupakan salah satu bukti bahwa penderita dyslexia belum tentu mempunyai mental dan kecerdasan yang normal atau di bawahnya.
Michael Faraday

Ahli fisika dan kimia ini merupakan salah satu orang penting pada abad ke-19. Faraday adalah seorang ilmuan yang sempat berkontribusi dalam bidang elektromagnetisme dan electrolysis. Suatu hari, seseorang bernama Thomas West mengatakan bahwa Faraday menderita disleksia. Faraday menjadi kurang peka dalam pengejaan kata dan ketepatan waktu. Memori Faraday sedang tidak bekerja, melainkan “mempermainkan” Faraday, dan gejala lain, ia tidak bisa menyelesaikan soal matematika sederhana. Akan tetapi, Faraday memiliki kemampuan visual yang kuat, bahwa ia pertama memahami terlebih dahulu apa yang dilihatnya, kemudian memecahkan apa yang dipikirkannya menjadi bagian-bagian agar mudah dipahami oleh orang lain. Tidak semua penderita disleksia mempunyai kemampuan ini.

Robert W. Woodruff
Woodruff pernah menjabat sebagai presiden perusahaan Coca Cola tahun 1923-1954. Merujuk kepada pengalaman Woodruff waktu kecil, ia juga menjadi salah satu penderita disleksia. Ayahanda Robert, Ernest Woodruff, adalah seorang figur yang sangat sukses pada saat itu, dengan menjabat menjadi presiden dari satu-satunya bank terpercaya di daerah Atlanta bagian selatan, yaitu The Trust Company of Georgia. Ernest termasuk seorang ayah yang bersifat otoriter dan keras kepala, sehingga Robert dikuliahkan di Emory College setelah menyelesaikan studinya di Georgia Military Academy tanpa mempertimbangkan bidang-bidang yang diminati Robert. Karena didiagnosa sebagai penderita disleksia, performa Robert ketika di Emory College sangat buruk sehingga pihak universitas mengirimkan surat yang berisikan tentang ketidakpuasan mereka terhadap performa Robert pada saat itu. Setelah melewati masa sekolah, Robert menemukan minatnya pada bisnis. Ia juga menemukan kesenangan dalam bidang pemasaran atau marketing dan mempromosikan bisnis Coca-Cola untuk yang pertama kalinya. Dengan bekal kemampuan Robert yang canggih dalam bisnis membuat ia mampu menghasilkan umpan balik yang tidak kalah canggihnya hingga perusahaan Coca-Cola bisa dikenal sampai penghujung dunia.
Dari 4 cerita penderita disleksia di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit disleksia sama sekali tidak berhubungan dengan kecerdasan, sehingga dyslexics jangan sampai self-esteem rendah karena menganggap dirinya tidak pintar dan tidak kreatif. Kreativitas ada pada setiap diri seseorang, dan tingkatan kreativitas berbeda-beda setiap orangnya. Teruslah berkreasi karena inovasi datang dari ide kecil yang bisa dikembangkan..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar